Membicarakan rokok khas Indonesia atau rokok nusantara, kita tidak bisa melepaskan diri dari rokok kretek. Istilah kretek sendiri muncul dari bunyi gemeretak yang dihasilkan racikan tembakau dan cengkeh yang ada di dalam rokok saat dinyalakan dengan api. Campuran cengkeh dalam tembakau ini merupakan inovasi yang tak ditemukan dari rokok-rokok negara lain. Inovasi pengolahan tembakau dan cengkeh ini oleh sebagian kalangan turut dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat Nusantara yang memiliki tradisi mengunyah pinang yang sering kali dicampur dengan daun tembakau yang sudah diiris-iris dan dikeringkan.
Sebagian catatan sejarah menyatakan bahwa kebiasaan merokok di Indonesia dikenal saat masyarakat Barat datang ke nusantara. Beberapa sumber sejarah dari laporan VOC pernah menyebutkan bahwa Sultan Agung mengisap rokok dengan menggunakan pipa. Sedangkan di Babad Ing Sangkala, dituliskan bahwa sejumlah bangsawan Jawa sudah mengonsumsi rokok tembakau pada masa pemerintahan Panembahan Senopati di masa kerajaan Mataram Islam.
Di luar perkenalan rokok tembakau yang dialami para kelas bangsawan dan raja-raja Jawa sebagai hasil dari perkenalan mereka dengan penjajah Belanda, di kalangan rakyat kelas bawah, kebiasaan merokok juga mulai menyebar luas meski dengan keunikannya tersendiri. Kalangan ini mengembangkan tradisi meracik tembakau dengan bahan-bahan campuran lainnya sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat agraris yang masih memupuk kesadaran spiritualitas kejawen. Dari pandangan spiritualitas inilah, muncul racikan tembakau yang dicampur dengan uwur, klembak, menyan, hingga cengkeh. Dalam sejumlah ritual, bahkan rokok racikan ini diikutsertakan sebagai bagian dari sesaji bersama dengan kopi dan teh yang dipersembahkan bagi leluhur.
Kemunculan rokok kretek sendiri memiliki sejumlah versi. Menurut sejumlah data sejarah, telah muncul produksi rokok lintingan kretek berskala rumahan di Kota Kudus pada tahun 1870. Saat itu kemunculannya dikaitkan dengan nama H. Djamhari yang konon merupakan penemu dan pengembang usaha rokok kretek lintingan ini. Kisah tentang inovasinya ini cukup unik. Ia mencoba menyembuhkan rasa sakit dan sesak di dadanya dengan mencampurkan cengkeh yang sudah dia rajang halus dan kemudian dicampur dengan tembakau. Idenya ini muncul ketika ia mengunyah cengkeh dan merasakan sakitnya berangsur membaik. Ia pun kemudian berpikir jika asap dari cengkeh ini sampai ke paru-parunya, pasti rasa sakit di dadanya akan sembuh. Ternyata uji cobanya mengisap racikan cengkeh dan tembakau sesuai dengan yang diharapkannya. Dari situlah, kabar tentang inovasi H. Djamhari ini tersiar dan sejak itu muncullah rokok kretek ini.
Setelah H. Djamhari meninggal pada 1890, berkembanglah industri rokok di kota Kudus. Dimulai dari Niti Semito dengan merek Bal Tiga, yang awalnya masih berupa rokok klobot. Jenis rokok kretek baru diproduksi Niti Semito pada 1909 dengan penjualan tanpa kemasan. Ia menjual rokok dalam bentuk ikatan dengan harga 2,5 sen per ikat (25 batang ukuran kecil) dan 3 sen (25 batang ukuran besar).
Setelah konsumen mulai menyukai produknya, Niti Semito memberi merek “Soempil” pada produksi rokok kreteknya, lalu diganti dengan merek “Djeruk”, dan kemudian berganti dengan nama “M Niti Semito”. Kesuksesan Niti Semito pun ditandai pada tahun 1914 di mana perusahaannya yang mengusung nama Sigaretan Fabriek M.Niti Semito Koedoes mempekerjakan hingga 15.000 orang. Melihat kesuksesan Niti Semito, mulai banyak pengusaha mengekor jejaknya. Pada 1912-1918 bermunculan pabrik-pabrik rokok di Kudus dan daerah Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Dari Kudus, bermunculan pabrik rokok seperti cap “Delima” (pemilik Haji Ashadi), cap “Mrico” (keluarga Atmo), dan cap “Jangkar Duren” (pemilik Haji Ali Asikin). Adapun kota-kota lainnya, pabrik rokok didapati di Semarang, Surabaya, Blitar, Kediri, Tulungagung, hingga Malang.
Kesuksesan perusahaan-perusahaan rokok yang didirikan pengusaha pribumi pun diikuti para para pengusaha Tionghoa. Kompetisi tak terelakkan dan berpuncak peristiwa kerusuhan Oktober 1918 di Kudus. Saat itu banyak pabrik rokok yang hancur dan dibakar massa. Industri rokok kretek mengalami kemunduran yang diakibatkan karena banyak pengusaha pribumi yang dihukum setelah kerusuhan.
Pasca kerusuhan, bisnis rokok kretek di Kudus mulai dikuasai para pengusaha Tionghoa. Pada 1930, di Pati muncul merek “Menak Djinggo”, hasil kongsi antara Kho Djie Siong dan Tan Djie Siong. Tahun 1935 pabrik ini pindah ke Kudus, yang di kemudian hari (1953) memproduksi kretek cap “Nojorono”. Mengingat Nojorono mendapat sambutan hangat di konsumen, maka pada tahun 1973, nama tersebut dijadikan nama badan usaha: PT Nojorono Kudus. Selanjutnya pada tahun 1936 muncul kretek dengan merek “Gentong Gotri” yang dimiliki Kho Djie Hay. Beberapa pengusaha pribumi di era ini yang cukup menonjol adalah Haji Ma’roef yang mendirikan merek “Djambu Bol” pada tahun 1937 dan kemudian MC. Wartono pada 1947 dengan merek “Sukun”.
Setelah tahun 1924, industri rokok tak hanya berkembang di Kudus. Sejumlah kota di Jawa Timur, pun bermunculan pabrik rokok. Seperti seperti Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Malang. Bila pada tahun 1924 baru ada sekitar 35 pabrik, maka pada tahun 1928 sudah ada 50, kemudian pada tahun 1933 jumlahnya sudah mencapai 269 pabrik.