KUDUS – Pengajian Ahad Pon yang digelar Majelis Tabligh Muhammadiyah Kudus bersama PR Sukun di JHK Kudus, berlangsung khusyuk. Ketua PW Muhammadiyah Jateng, PW Tafsir yang menjadi pembicara menekankan untuk lebih bijak dalam menyikapi sebuah perbedaan.
Tafsir menyebutkan, belum lama ini ia salat tarawih di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Di sana, ternyata Salat Tarawih dilangsungkan dengan 23 rakaat, persis seperti warga NU yang Salat Tarawih di Kudus. Bahkan, dalam akhir rakaat juga menggunakan doa Qunut,seperti Shubuh.
”Jadi persis seperti dengan jamaah NU di sini,” katanya saat mengisi pengajian Ahad Pon, Minggu (12/6/2016), pagi.
Hanya, lanjutnya, terdapat perbedaan di sana. Yakni namanya bukanlah Salat Tarawih, namun Salat Lail di Bulan Ramadan. Selain nama yang beda, di sana terdapat pergantian imam hingga dua kali saat memimpin salat, yakni tiap 10 rakaat ganti imam.
Melihat hal itu, dia berpesan kepada Muhammadiyah tidak usah risau. Sebab, yang demikian itu fiqih. Sementara fiqih dapat berubah, tergantung yang mengartikannya.
”Fiqih berubah itu hal yang biasa, jadi tidak usah bingung. Sebab yang tidak berubah itu adalah Syariah. Dalam hal ini adalah ajaran Allah dan Sunnah Rosul,” ujarnya.
Ia mencontohkan, dalam penentuan Ramadan dan lebaran beberapa kali terdapat perbedaan. Padahal tanggalnya sudah jelas.
”Itu lantaran cara menentukannya berbeda-beda, sesuai dengan keyakinan masing-masing berdasarkan fiqih yang dipelajari. Sehingga wajar jika ada perbedaan,” ungkapnya.
Untuk itu, warga Muhammadiyah diminta tetap yakin dengan keyakinannya selama ini. Sebab apa yang dilakukan di luar muhammadiyah belum tentu benar, demikian pula sebaliknya.
”Tidak ada yang pasti dari Rosul, bahwa sholat tarawih itu 23 rakaat atau 11 rakaat. Rosul tidak bilang pasti. Dan yang kita gunakan 11 rakaat itu,adalah kata Aisyah,” tandasnya. (*)